Rapat umum
pemegang saham di lingkungan BUMN sudah mulai sering terdengar diadakan. Reaksi
menghadapi situasi ini bermacam-macam. Ada direktur yang sudah mulai berpesan
meninggalkan legacy-nya. Ada pula
yang waswas, apakah ia masih akan tetap menjabat. Namun, ada juga manajemen
yang melakukan crash program terhadap
para eksekutif yang dinyatakan berhasil melalui assasement agar mereka wellequipped
bila ditempatkan dimanapun. Yang jelas, sekarang kita bisa melihat hasil
pengasahan talenta dari setiap organisasi.
Ada organisasi yang bertalenta banyak yang siap diberi
penugasan baru. Namun,ada pula yang “kering” sehingga harus mengais-ngais
mencari calon suksesor. Bila pada saat diperlukan kita baru mulai mencari dan
menyeleksi, biasanya timing-nya sudah
terlambat. Pengembangan talenta sebenarnya dimulai dari saat seorang individu
direkrut oleh organisasi. Sayangnya, meski semua orang setuju dengan prinsip
ini, tidak semua bisa mempraktikannya. Banyak yang mengeluhkan adanya kendala waktu.
“Saya tidak bisa membimbing, terutama ketika tanggung jawab saya semakin
berat”. Andaikata mereka memikirkan keterampilan anak buahnya, pasti yang lebih
diperhatikan adalah sisi hard skills, yang
jelas berkaitan dan langsung memengaruhi laba rugi.
Manajemen talenta ini memang sangat tidak terasa
dan baru dipandanng penting pada saat kita sudah tidak bisa membenahinya dalam
waktu singkat karena bersifat jangka panjang, bertumbuh, dan kultural. Beberapa
penelitian membuktikan, ketika masih di lapangan, relatif masih banyak pemimpin
yang memperhatikan dan meng-coach bawahannya.
Ketika mereka naik ke jabatan yang lebih tinggi, apalagi paling tinggi, ketika
lampu sorot sudah diarahkan pada kinerjanya, biasanya semangat mengurus
mengurus manusia menjadi hilang. Bila strategi dan sitem pengembangan manusia
tidak diprioritaskan lagi, akan terbengkalai pekerjaan manajemen talenta ini. Kita
bisa melihat bahwa visi, misi, dan values
organisasi selalu ada, tetapi sangat jarang mencantumkan semangat
mengembangkan manusia sebagai prioritas utama.
“Leanders create leaders”
Brian kibby, presiden McGraw-Hill Higher Education,
mengatakan, pemimpin ynag rajin memang harus meluangkan waktu, mengadakan
kontak mata, dan memperhatikan orang-orangnya dengan saksama. Waktu, surat-menyurat
dan rapat koordinasi perlu diskedul sedemikian rupa agar ia tetap mempunyai
kesempatan untuk berinterkasi secara interpersonal. Bila hal ini tidak dilakukan,
bisa jadi pemimpin akan kehilangan kepekaan mengenai manpower-nya. Selain itu, keterampilannya untuk mengelola talenta
akan terkikis “power messes up our
ability to learn” katanya.
Menurut Kibby, pemimpin tetap harus menjadi role mode dalam sikap belajar. Ia harus
berani mengakui, antara tahu dan tidak tahu, serta membuat pengakuan yang
transparan tentang apa yang ia tidak tahu. Dalam organisasi atau values perusahan, belajar benar-benar
perlu diprioritaskan. Bukan saja dalam menyusun strategi, penerapannya pun harus
senantiasa dipikirkan. Belajar harus menjadi magic word dalam setiap pembicaraan. Bisa kita bayangkan bila seorang
CEO selalu menanyakan pertanyaan yang sama kepada setiap karyawan yang
ditemuinya di lift, ”apa yang sedang kau pelajari hari ini?” bukankah ini akan
merangsang semua orang untuk siap belajar?
Pengembangan talenta sesungguhnya perlu juga
didukung oleh sistem dan semua proses. Setiap atasan harus menyadari bahwa ia
harus mempersiapkan bawahanya ke jenjang pengetahuan keterampilan, dan sikap
yang lebih tinggi. Paling sedikit, semua orang memegang kurikulum belajarnya, artinya
tahu kekurangannya dan bagaimana memperbaikinya. Career Path, bagaimana mengarunginya dan kemana pergi bila ada
hambatan harus jelas. Setiap orang mesti pernah mengalami hambatan dan perlu
merasakan bagaimana ia menanggulangi masalah yang sedang dihadapi. Bila dalam
organisasi semua orang memperlakukan masalah sebagai tantangan, bahkan ingin
selalu belajar dari kesalahan, manajemen talenta akan mudah dilaksanakan.
Mengasah
talenta melanggengkan perusahaan
Google dan Volkswagen adalaha perusahaan yang
sampai saat ini tetap juara inovasi. Dikedua perusahaan ini, inovasi mengalir
tiada henti. Pengembangan karyawan mengikuti pepatah “patah tumbuh, hilang
berganti”. Ini didukung dengan hubungan autentik antara penampilan perusahaan
dan apa yang dirasakan karyawannya di “dalam”, yaitu value proposition yang tepat. Karyawannya tahu mengapa mereka harus
berprestasi, tumbuh, berkembang, dan sukses.
Para pemimpin tahu bahwa strategi dan eksekusi
harus sejalan. karyawannya tahu bahwa mereka harus bertindak kolektif secara
cultural, disamping juga berprestasi
secara individual. Mereka tahu bahwa mereka harus di local dan bisa
diadu secara global. Mereka sadar bahwa mereka perlu patuh pada aturan
perusahaan tanpa harus kehilangan fleksibilitas berpikir.
Manajemen puncak di kedua perusahaan ini sangat
mementingkan efisiensi operasional sejalan dengan strategi yang agresif.
Individu selalu diingatkan untuk mandiri walaupun secara bersamaan dengan itu, juga
menganut tujuan bersama yang seragam. Karyawan perlu sadar, hanya dengan
pengembangan talenta, regenerasi, dan pembaharuan, perusahaan bisa menjaga
produktifitasnya serta setiap individu berperan penting di dalamnya. Ini semua
karena, ”our leaders are deeply engaged
in and accountable for spoting, tracking, coaching, and developing the next
generation of leaders”.
EILLEEN RACHMAN
EXPERD
CHARACTER
BUILDING ASSESSMENT & TRAINING
Kompas, Sabtu 14 Maret 2015