Banyak pimpinan perusahaan yang menyadari bahwa kunci kesuksesan
mereka terletak pada manusianya. Namun, tidak sedikit kemudian menggeser
tanggungjawabnya ke departemen atau bagian yang mengelola sumber daya manusia. Disinilah
kita memulai permasalahan: kita engan melakukan pengelolaan manusia. Lalu,
bagaimana kita bisa mengoptimalkan sumber daya manusia?
Tentunya hidup kita sangat tenteram bila semua manusia yang kita
kelola adalah pekerja keras, kolaboratif, bersikap bagus, dan bertalenta luar
biasa. Tetapi, apakah situasi ini realistis? Apa ada manajer yang menhadapi
situasi yang seperti ini? Yang jelas seorang manajer langsung berhadapan dengan
dua golongan: ada orang yang mudah dikelola dan ada yang tidak bisa didiamkan
begitu saja, serta diharapkan mengembangkan dirinya sendiri. Ada yang berbakat,
tetapi todak kolaboratif. Sebaliknya, ada yang bersikap nice dan penolong, tapi tidak terlalu berbakat. Ada yang
bermotivasi, tetapi terlalu agresif. Sebaliknya, ada pula yang pandai, tapi melempem.
Selain itu, kita menemukan yang bertalenta, sangat agresif, bisa sejalan dengan
tujuan perusahaan, tetapi moody dan
akhirnya bisa dikatakan “high maintenance”.
Dari divisi human capital, kita sering disarankan mengikuti system dan
menggolongkan individu dibawah kita sesuai dengan cocok-tidak cocoknya peran,
dengan bagaimana ia berprestasi. Banyak manajer yang mengalami kesulitan untuk
menggolong-golongkan bawahannya kedalam kotak-kotak ini. Satu hal yang kita
harus ingat adalah kita mengelola manusia yang sangat fleksibel pengembangan emosi
maupun karakternya. Pengamatan yang kurang seksama akan menyulitkan kita untuk
menggolong-golongkan bawahan.
Mengelola manusia = mengembangkan kepemimpinan
Dengan tuntutan perusahaan untuk mencapai hasil finansial yang telah
ditetapkan, kita sering menomorduakan pengelolaan manusia. Lupa bahwa bila
manusia dioptimalkan kita otomatis akan mendapatkan hasil yang berlipat. Kita bisa
membuang-buang waktu bila berharap bahwa urusan manusia bisa ditunda dan akan
berubah dengan sendirinya.
Banyak manajer yang merasa bahwa dengan sekali setahun membuat
evaluasi dan menginstruksikan bawahannya membuat indifidual development plan sudah cukup. Dan, selebihnya adalah
tanggungjawab bawahan untuk mengembangkan diri. Kita sering lupa bahwa semua
bentuk frustasi, di pihak kita maupun di pihak bawahan, adalah bagian penting
dari manajemen. Satu-satunya jalan bagi para pemimpin adalah menyambut positif
masalah manusia dan menggarapnya sebagai tantangan yang penting.
Konflik adalah tantangan
Banyak para manajer mengeluh, bahkan meninggalkan lingkungan
perusahaan tertentu, ketika terjadi banyak kinflik yang tidak ada henti dan
solusinya. Bisakah kita membayangkan fungsi seorang manajer bila dalam bagian
yang ia pimpin tidak terjadi konflik sama sekali?
Conflict is the currency of
management. Bila tidak ingin menguasai dan terampil
menyelesaikan konflik, mungkin kita memang tidak berbakat menjadi pemimpin. Seorang
pemimpin tidak mungkin menghindari konflik, mereka harus hidup diatas konflik
dan tetap menjaga agar setiap individu happy.
Kita perlu sadar bahwa kita akan hidup Bersama individu-individu yang sama pada
masa depan, jadi perlu menguasai seni mencari solusi konstruktif.
Anda tidak selalu harus mandiri
Di lingkungan organisasi kita, terdapat banyak teman senasib, yang
pengalamannya dalam pengelolaan manusia tidak sama dengan kita. Banyak diantara
kita sering melupakan hal ini. Kita sebetulnya tidak salah, bisa mendiskusikan
pengelolaan manusia ini dengan teman sekerja atau atasan kita.
Kita bisa mendapatkan perspektif lain yang justru membuka pikiran. Ini
bukan tanda bahwa kita lemah. Justru minat terhadap manusia menunjukkan bahwa kita ingin menjadi manusia yang lebih sensible. Kita tentunya bisa mengikuti program
yang digariskan departemen human capital seperti
coaching dan mentoring, tetapi yang paling mempan adalah bisa kitalah yang menginisiasi
pengelolaan ini sendiri.
“Mindset”: manusia adalah “intangible asset”
Ketika menghadapi bawahan yang problematik, kita perlu bertanya:
apakah dia beban atau asset? Pada masa digital ini, kita menemui banyak anak
muda bertalenta langka yang tidak mudah bekerjasama dengan rekan-rekan
seniornya karena mereka lebih suka melakukan banyak hal dengan caranya sendiri.
Namun, keuntungan yang mereka bawakan sungguh nyata dan bahkan sulit
tergantikan. Jadi, jelas mereka adalah asset. Bila kita para atasan tidak
mengelola mereka dan merasa enggan menghadapi kesulitannya, mereka pada
akhirnya bisa juga merongrong perusahaan.
Tidak ada solusi instan yang bisa dilakukan untuk mengelola masalah
manusia, apalagi mengoptimalkannya. Tetapi, yang jelas, kita manusia dan
bawahan juga manusia, pendekatan yang manusiawi tetap akan paling mempan untuk
meningkatkan produktivitas.
“Person to person”
Banyak manajer tidak sanggung mengelola manusia karena tidak tahu
bagaimana membuka saluran komunikasihati ke hati dengan bawahan. Memang, tanpa
hubungan yang terbuka, tulus, dan jujur, pengelolaan manusia tidak akan
optimal.
Sebelum melakukan coaching, counceling, ataupun mentoring, kita
perlu menelaah diri sendiri dahulu. Apakah kita mampu menghargai bawahan dan
memberi komentar yang positif terhadap prestasi sekecil apapun? Apakah kita
selalu awas dan juga memperhatikan kinerjanya dan siap segera memberi komentar?
Mengoptimalkan manusia melalui kelompok
Pada era ketika milenial akan menguasai jumlah tenaga kerja ini,
kita juga perlu melihat kecenderungan bahwa mereka lebih suka berkelompok. Tidak
ada jalan yang lebih efektif untuk mengoptimalkan kinerja individu daripada
mendekatinya melalui kerja kelompoknya. Kita bisa memberi mereka kesempatan
untuk mengambil keputusan. Kita pun bisa mengajak mereka untuk memperluas
pandangan, dengan membiasakan berdiskusi dengan tema “what if”. Dalam kelompok, setiap individu akan terbiasa mengelola
keberbedaan dan membangun konsensus.