12.05.2012

Pacing Pacing and Leading

Sumber: milist [Proaktif Network] - milis_proaktif@googlegroups.com

Oleh: Erni Julia kok
Di suatu kerajaan antah-berantah, putra mahkota yang berumur 12 tahun itu tiba-tiba bertingkah aneh. Tanpa sebab yang jelas, ia tiba-tiba berhalusinasi bahwa ia adalah seekor ayam jago. Sia-sia saja raja dan permaisuri meyakinkannya bahwa ia seorang pangeran, putra mahkota yang akan mewarisi tahta kerajaan pada saat ia berumur 18 tahun, bukan seekor ayam jago. Dari hari ke hari perilaku putra mahkota semakin menyerupai ayam jantan atau ayam jago. Ia mulai berkokok setiap pagi, menolak menyantap makanan yang dihidangkan, jika lapar ia pergi ke gudang makanan untuk mematoki biji-bijian sebagaimana layaknya seekor ayam. Pada hari ketiga setelah memakan biji-bijian, putra mahkota mulai melepaskan pakaiannya karena ayam tidak membutuhkan pakaian manusia.
Tentu saja baginda raja segera memanggil tabib, penyihir putih hingga ahli jiwa untuk menyembuhkan putranya, namun tidak ada seorang pun yang berhasil mengembalikan putra mahkota sebagai manusia, sebaliknya kelakuannya semakin menyerupai ayam. Raja akhirnya mengumumkan sayembara, bagi siapa saja yang berhasil mengembalikan putra mahkota menjadi manusia akan mendapatkan hadiah besar. Beberapa hari kemudian datanglah ke istana seorang lelaki tua untuk mengikuti sayembara itu. Karena ia merupakan kontestan satu-satunya, raja pun mengijinkannya.
            Setelah mengamati perilaku putra mahkota yang sedang mengais-ngais di taman belakang, lelaki tua itu mulai menanggalkan pakaiannya. Setelah itu ia berlari kecil mendekati putra mahkota sambil merentangkan kedua tangannya seperti sayap seekor ayam. Ia segera meniru tingkah laku putra mahkota, ia ikut mematok-matok berbagai biji-bijian, mengais dengan sepasang kakinya, dan berkokok.  Di malam hari ia tidur bersama putra mahkota di kandang ayam.
            Tujuh hari kemudian, lelaki tua itu minta roti dan sup dari dapur istana dan menyantapnya dengan nikmat. Melihat itu putra mahkota menegurnya dengan bahasa isyarat ayam yang artinya: Hei, kita kan ayam, kenapa kau makan seperti manusia?!
           Lelaki tua itu menjawab—tentu saja dengan bahasa manusia; “ayam juga boleh makan makanan manusia. Nih, cobain, enak banget!” katanya sambil menyodorkan sepotong roti kepada sang pangeran. Sang pangeran langsung menyambar roti itu dan melahapnya.
            Ketika malam tiba dan mereka akan beristirahat, lelaki tua itu menyelimuti tubuhnya dengan jubahnya. Melihat hal itu sang pangeran segera ingin menegurnya dengan bahasa isyarat, namun berhubung keadaan sekelilingnya gelap-gulita, ia terpaksa berkokok-kokok.
            “Apa yang ingin kau katakan, Nak? Ayam berbicara dengan bahasa manusia juga tidak apa-apa kog.”
            “Kita kan ayam, tidak membutuhkan pakaian manusia, kenapa kau menyelimuti tubuhmu dengan jubahmu?!” Untuk pertama kalinya sang pangeran berbicara setelah selama sebulan hanya berkokok.
            “Oh itu? Ya, nggak ada salahnya kan ayam berpakaian di malam yang dingin seperti ini. Ayo, kau juga kenakan pakaian ini,  cuaca malam ini sangat dingin.” Karena memang suhu udara sangat dingin di awal musim gugur itu, sang pangeran pun bersedia mengenakan pakaian yang disodorkan lelaki tua itu.
            Keesokannya lelaki tua itu mengajak putra mahkota masuk ke istana untuk makan pagi bersama orang tuanya.
            “Apakah ayam boleh makan di dalam istana, Pak Tua?” Tanya sang pangeran itu polos.
            “Oh tentu saja, walaupun ayam, kau ini kan putra mahkota!” Jawab lelaki tua itu.
            Menyingkat cerita, putra mahkota itu kembali berperilaku normal. Lelaki tua itu mengklaim hadiah besar dari kerajaan dan meninggalkan istana.

No comments:

Post a Comment