Sumber: milist [Proaktif Network] - milis_proaktif@googlegroups.com
Oleh:
Erni Julia kok
Di
suatu kerajaan antah-berantah, putra mahkota yang berumur 12 tahun itu tiba-tiba
bertingkah aneh. Tanpa sebab yang jelas, ia tiba-tiba berhalusinasi bahwa ia
adalah seekor ayam jago. Sia-sia saja raja dan permaisuri meyakinkannya bahwa ia
seorang pangeran, putra mahkota yang akan mewarisi tahta kerajaan pada saat ia
berumur 18 tahun, bukan seekor ayam jago. Dari hari ke hari perilaku putra
mahkota semakin menyerupai ayam jantan atau ayam jago. Ia mulai berkokok setiap
pagi, menolak menyantap makanan yang dihidangkan, jika lapar ia pergi ke gudang
makanan untuk mematoki biji-bijian sebagaimana layaknya seekor ayam. Pada hari
ketiga setelah memakan biji-bijian, putra mahkota mulai melepaskan pakaiannya
karena ayam tidak membutuhkan pakaian manusia.
Tentu saja baginda raja segera memanggil tabib, penyihir putih hingga ahli jiwa
untuk menyembuhkan putranya, namun tidak ada seorang pun yang berhasil
mengembalikan putra mahkota sebagai manusia, sebaliknya kelakuannya semakin
menyerupai ayam. Raja akhirnya mengumumkan sayembara, bagi siapa saja yang
berhasil mengembalikan putra mahkota menjadi manusia akan mendapatkan hadiah
besar. Beberapa hari kemudian datanglah ke istana seorang lelaki tua untuk
mengikuti sayembara itu. Karena ia merupakan kontestan satu-satunya, raja pun
mengijinkannya.
Setelah mengamati perilaku putra mahkota yang sedang mengais-ngais di taman
belakang, lelaki tua itu mulai menanggalkan pakaiannya. Setelah itu ia berlari
kecil mendekati putra mahkota sambil merentangkan kedua tangannya seperti sayap
seekor ayam. Ia segera meniru tingkah laku putra mahkota, ia ikut mematok-matok
berbagai biji-bijian, mengais dengan sepasang kakinya, dan berkokok. Di
malam hari ia tidur bersama putra mahkota di kandang ayam.
Tujuh hari kemudian, lelaki tua itu minta roti dan sup dari dapur istana dan
menyantapnya dengan nikmat. Melihat itu putra mahkota menegurnya dengan bahasa
isyarat ayam yang artinya: Hei, kita kan ayam, kenapa kau makan seperti
manusia?!
Lelaki tua itu menjawab—tentu saja dengan bahasa manusia; “ayam juga boleh makan
makanan manusia. Nih, cobain, enak banget!” katanya sambil menyodorkan sepotong
roti kepada sang pangeran. Sang pangeran langsung menyambar roti itu dan
melahapnya.
Ketika malam tiba dan mereka akan beristirahat, lelaki tua itu menyelimuti
tubuhnya dengan jubahnya. Melihat hal itu sang pangeran segera ingin menegurnya
dengan bahasa isyarat, namun berhubung keadaan sekelilingnya gelap-gulita, ia
terpaksa berkokok-kokok.
“Apa yang ingin kau katakan, Nak? Ayam berbicara dengan bahasa manusia juga
tidak apa-apa kog.”
“Kita kan ayam, tidak membutuhkan pakaian manusia, kenapa kau menyelimuti
tubuhmu dengan jubahmu?!” Untuk pertama kalinya sang pangeran berbicara setelah
selama sebulan hanya berkokok.
“Oh itu? Ya, nggak ada salahnya kan ayam berpakaian di malam yang dingin seperti
ini. Ayo, kau juga kenakan pakaian ini, cuaca malam ini sangat dingin.”
Karena memang suhu udara sangat dingin di awal musim gugur itu, sang pangeran
pun bersedia mengenakan pakaian yang disodorkan lelaki tua
itu.
Keesokannya lelaki tua itu mengajak putra mahkota masuk ke istana untuk makan
pagi bersama orang tuanya.
“Apakah ayam boleh makan di dalam istana, Pak Tua?” Tanya sang pangeran itu
polos.
“Oh tentu saja, walaupun ayam, kau ini kan putra mahkota!” Jawab lelaki tua
itu.
Menyingkat cerita, putra mahkota itu kembali berperilaku normal. Lelaki tua itu
mengklaim hadiah besar dari kerajaan dan meninggalkan istana.
No comments:
Post a Comment