4.25.2013

Gelandangan Pintar

Sumber: Buku Kafe Etos hal 199
Oleh: Jansen H. Sinamo
Kehadiran seorang gelandangan gila tiba-tiba saja mengejutkan kota kecil yang biasanya sunyi sepi. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal. Wajahnya kelihatan bodoh. Kelakuannya aneh dan lucu. Itu pula yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Penduduk suka menggodanya. Kehadiran gelandangan tua itu menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas mereka yang mononton. Rumah makan dan kedai kopi kini menjadi ramai karena ada topik baru yang dibicarakan.

Sekali waktu datanglah kepada gelandangan itu seorang pemuda. Ia meletakkan uang Rp20 ribuan dan Rp100 ribuan di tangan kiri dan kanannya. Lalu ia meminta si gelandangan untuk memilih yang mana untuknya. Gelandangan yangmenyambutnya dengan gembira. Lalu ia memilih yang Rp20 ribuan. Orang-orang yang menonton kejadian itu tertawa karena merasa lucu: betapa bodohnya si gelandangan, tak bisa membedakan mana uang yang bernilai lebih besar.
Keesokan harinya, ada pria lain yang menggoda si gelandangan. Caranya tetap sama. Ia meletakkan uang Rp20 ribuan di tangan kiri dan Rp100 ribuan di tangan kana. Dan cerita kemarin berulang lagi: si gelandangan tertawa senang lalu menjatuhkan pilihan kepada uang Rp20 ribuan yang masuk kantongnya. Dan para penggoda itu dengan senang hati menyaksikan kebodohan si gelandangan yang memilih uang yang lebih kecil.

Beberapa minggu kemudian seorang anak kecil mendekati si gelandangan. Ia penasaran kenapa gelandangan gila itu demikian bodohnya. “ Hai Pak Tua, apakah engkau benar-benar tidak dapat membedakan mana uang Rp20 ribuan dan mana Rp100 ribuan? Sudah berapa kali engkau diberi pilihan yang sama, mengapa engkau tidak belajar memilih yang nilainya lebih besar?”
Gelandangan itu terdian sejenak. Ia mengedarkan pandangan untuk memastikan tidak ada orang lain di tempat itu selain dirinya dan anak kecil itu. Lalu ia berbisik “ Hei anak muda. Kalau aku mengambil uang Rp100 ribuan, dapat kupastikan, penduduk kota tidak akan pernah mau lagi memberiku kesempatan memilih uang Rp20 ribuaan dan uang Rp100 ribuaan. Dan kalau itu terjadi, jelas aku tidak pernah mendapat apa pun lagi.”
*****
Tidak selamanya pilihan yang tampak pintar memberi keuntungan. Tidak selalu yang nilai lebih besar itu akan langgeng. Tatkala pilihan-pilihan berada di hadapan kita, adakalanya tak cukup mengandalkan perhitungan-perhitungan logis untuk mengabil keputusan, dibutuhkan kebijaksanaan dan kreativitas. Itulah yang sering dinamai sebagai seni mengambil keputusan.
Menurut psikolog Nilam Widyarini, pada saat individu mengambil keputusan dengan tidak banyak pertimbangan, terdapat beberapa kecenderungan mentalnya yang bekerja spontan tanpa disadari. Kecenderungan tersebut ada yang positif, positif-negatif, dan ada pula yang negatif. Semuanya terbentuk karena pembiasaan sehingga muncul persoalan dalam hal ini, yaitu sejauh mana sang individu membiasakan kecenderungan yang positif sehingga tidak didominasi oleh hal yang negatif.
Intuisi merupakan salah satu hal yang positif. Intuisi adalah kemampuan mengetahui atau mengenali secara tepat dan siap menghadapi kemungkinan yang dapat terjadi dalam situasi-situasi tertentu. Tentu saja, pengambilan keputusan tidak cukup bila hanya mengandalkan intuisi. Akan lebih baik bila dikombinasikan dengan pendekatan analitis dan rasional. Intuisi sangan bermanfaat terutama dalam situasi pengambilan keputusan yang berisiko atau tidak menentu.
Selain intuisi, kreativitas juga merupakan kecenderungan yang positif. Dalam pengambilan keputusan, kreativitas berarti pengembangan respons-respons yang unik yang berkaitan dengan masalah kesempatan yang ada pada saat itu. Hal ini dapat berkembang bila seseorang mengembangkan intuisinya.
Apa yang dilakukan si gelandangan gila pada cerita di atas menggambarkan hal itu. Jika ia mengambil ‘pilihan pintar’, tentu saja riwayat ‘kegilaannya’ akan tamat. Ia tak akan lucu lagi. Tak akan ada yang mebutuhkan lagi sebagai bahan olok-olok. Kota kecil itu akan sepi kembali. Dirinya tak diuntungkan oleh keadaan ini, demikian juga penduduk kota ini.
Dalam dunia kerja, penghayatan kerja sebagai seni akan memberikan ruang bagi individu untuk menghadapi berbagai masalah dan merumuskan tindakan yang tidak hanya mengikuti pola yang sudah baku. Bila dianalogikan dengan penetapan harga produk, misalnya, tindakan yang diambil oleh gelandangan gila tadi tak ubahnya dengan strategi menetapkan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan. Seni pengambilan keputusan dalam hal ini telah memungkinkan dikedepankannya perspektif jangka panjang ketimbang perspektif jangka pendek yang kelihatannya lebih masuk akal.
Etos 6: menghayati kerja sebagai seni, tentu saja membutuhkan waktu. Itu antara lain karena penghayatan itu berasal dari kedekatan dan kedalaman pengalaman orang terhadap masalah-masalahnya. Kata kuncinya adalah ketekunan pada apa yang dikerjakan dan keterbukaan terhadap ide-ide baru walaupun itu tidak lazim.

Gagasan untuk diterapkan
Cobalah daftarkan berbagai aktivitas Anda dalam pekerjaan yang dapat diselesaikan dengan seni bernegosiasi dan seni berdiplomasi. Buatlah rencana aksi yang praktis yang dalam jangka pendek dapat Anda laksanakan dalam hal diatas.

No comments:

Post a Comment