Sumber: Buku Kafe Etos hal 199
Oleh: Jansen H. Sinamo
Kehadiran seorang gelandangan gila tiba-tiba saja mengejutkan kota
kecil yang biasanya sunyi sepi. Tidak ada yang tahu dari mana dia berasal.
Wajahnya kelihatan bodoh. Kelakuannya aneh dan lucu. Itu pula yang membuatnya
menjadi pusat perhatian. Penduduk suka menggodanya. Kehadiran gelandangan tua
itu menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas mereka yang mononton. Rumah
makan dan kedai kopi kini menjadi ramai karena ada topik baru yang dibicarakan.
Sekali waktu datanglah kepada gelandangan itu seorang pemuda. Ia
meletakkan uang Rp20 ribuan dan Rp100 ribuan di tangan kiri dan kanannya. Lalu
ia meminta si gelandangan untuk memilih yang mana untuknya. Gelandangan
yangmenyambutnya dengan gembira. Lalu ia memilih yang Rp20 ribuan. Orang-orang
yang menonton kejadian itu tertawa karena merasa lucu: betapa bodohnya si
gelandangan, tak bisa membedakan mana uang yang bernilai lebih besar.
Keesokan harinya, ada pria lain yang menggoda si gelandangan. Caranya
tetap sama. Ia meletakkan uang Rp20 ribuan di tangan kiri dan Rp100 ribuan di
tangan kana. Dan cerita kemarin berulang lagi: si gelandangan tertawa senang
lalu menjatuhkan pilihan kepada uang Rp20 ribuan yang masuk kantongnya. Dan
para penggoda itu dengan senang hati menyaksikan kebodohan si gelandangan yang
memilih uang yang lebih kecil.
Beberapa minggu kemudian seorang anak kecil mendekati si gelandangan.
Ia penasaran kenapa gelandangan gila itu demikian bodohnya. “ Hai Pak Tua,
apakah engkau benar-benar tidak dapat membedakan mana uang Rp20 ribuan dan mana
Rp100 ribuan? Sudah berapa kali engkau diberi pilihan yang sama, mengapa engkau
tidak belajar memilih yang nilainya lebih besar?”
Gelandangan itu terdian sejenak. Ia mengedarkan pandangan untuk
memastikan tidak ada orang lain di tempat itu selain dirinya dan anak kecil
itu. Lalu ia berbisik “ Hei anak muda. Kalau aku mengambil uang Rp100 ribuan,
dapat kupastikan, penduduk kota tidak akan pernah mau lagi memberiku kesempatan
memilih uang Rp20 ribuaan dan uang Rp100 ribuaan. Dan kalau itu terjadi, jelas
aku tidak pernah mendapat apa pun lagi.”
*****
Tidak selamanya pilihan yang tampak pintar memberi keuntungan. Tidak
selalu yang nilai lebih besar itu akan langgeng. Tatkala pilihan-pilihan berada
di hadapan kita, adakalanya tak cukup mengandalkan perhitungan-perhitungan
logis untuk mengabil keputusan, dibutuhkan kebijaksanaan dan kreativitas.
Itulah yang sering dinamai sebagai seni mengambil keputusan.
Menurut psikolog Nilam Widyarini, pada saat individu mengambil
keputusan dengan tidak banyak pertimbangan, terdapat beberapa kecenderungan
mentalnya yang bekerja spontan tanpa disadari. Kecenderungan tersebut ada yang
positif, positif-negatif, dan ada pula yang negatif. Semuanya terbentuk karena
pembiasaan sehingga muncul persoalan dalam hal ini, yaitu sejauh mana sang individu
membiasakan kecenderungan yang positif sehingga tidak didominasi oleh hal yang
negatif.
Intuisi merupakan salah satu hal yang positif. Intuisi adalah kemampuan
mengetahui atau mengenali secara tepat dan siap menghadapi kemungkinan yang
dapat terjadi dalam situasi-situasi tertentu. Tentu saja, pengambilan keputusan tidak cukup bila hanya mengandalkan
intuisi. Akan lebih baik bila dikombinasikan dengan pendekatan analitis dan
rasional. Intuisi sangan bermanfaat terutama dalam situasi pengambilan keputusan
yang berisiko atau tidak menentu.
Selain intuisi, kreativitas juga merupakan kecenderungan yang positif.
Dalam pengambilan keputusan, kreativitas berarti pengembangan respons-respons
yang unik yang berkaitan dengan masalah kesempatan yang ada pada saat itu. Hal
ini dapat berkembang bila seseorang mengembangkan intuisinya.
Apa yang dilakukan si gelandangan gila pada cerita di atas menggambarkan
hal itu. Jika ia mengambil ‘pilihan pintar’, tentu saja riwayat ‘kegilaannya’
akan tamat. Ia tak akan lucu lagi. Tak akan ada yang mebutuhkan lagi sebagai
bahan olok-olok. Kota kecil itu akan sepi kembali. Dirinya tak diuntungkan oleh
keadaan ini, demikian juga penduduk kota ini.
Dalam dunia kerja, penghayatan kerja sebagai seni akan memberikan ruang
bagi individu untuk menghadapi berbagai masalah dan merumuskan tindakan yang
tidak hanya mengikuti pola yang sudah baku. Bila dianalogikan dengan penetapan
harga produk, misalnya, tindakan yang diambil oleh gelandangan gila tadi tak
ubahnya dengan strategi menetapkan harga yang lebih rendah untuk mendapatkan
keuntungan yang berkelanjutan. Seni pengambilan keputusan dalam hal ini telah
memungkinkan dikedepankannya perspektif jangka panjang ketimbang perspektif
jangka pendek yang kelihatannya lebih masuk akal.
Etos 6: menghayati kerja sebagai seni, tentu saja membutuhkan waktu.
Itu antara lain karena penghayatan itu berasal dari kedekatan dan kedalaman
pengalaman orang terhadap masalah-masalahnya. Kata kuncinya adalah ketekunan
pada apa yang dikerjakan dan keterbukaan terhadap ide-ide baru walaupun itu
tidak lazim.
Gagasan untuk diterapkan
Cobalah daftarkan berbagai aktivitas Anda dalam pekerjaan yang dapat
diselesaikan dengan seni bernegosiasi dan seni berdiplomasi. Buatlah rencana aksi yang praktis yang dalam jangka pendek dapat Anda
laksanakan dalam hal diatas.
No comments:
Post a Comment