10.23.2012

Nasionalisasi Strategi Perang Khondak

Oleh: Sabrank Suparno

Jangan katakan “Wouw,” jika tidak terperangah dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib pada pengajian Padhang mBulan edisi 30 September, 2012. Cak Nun melontarkan pertanyaan sederhana, “untuk siapakah Rasululloh mengadakan perang Khondak?” Cak Nun kemudian merangsang inti pertanyaan tersebut dengan beberapa pertanyaan pendukung/pengembang. Misal, apakah perang khondak untuk negara-pan arabis, Iran, Syiria, Libanon, Mesir, Arab Saudi dll? 

Perang khondak dalam sejarah Islam dikenal dengan istilah perang parit, yakni satu metode perang dengan menggali parit untuk menghadang atau menyulitkan keleluasaan gerak serang musuh. Takaran penggalian parit zaman Rasululloh bertujuan efektif untuk memutus transportasi darat yang zaman tersebut belum mengenal tekhnologi pesawat tempur. Zaman di mana alat pendukung utama pasukan perang masih mengandalkan kuda dan onta. Metode parit yang berbeda kondisi dengan darat efektif melumpuhkan lawan, baik dari strategi keleluasan hingga kemudahan mengincar identifikasi kejelasan lawan.


Perang parit zaman Rasul, pasukan Muslim bertahan dalam medan lingkaran parit. Sedang pasukan lawan berupaya masuk menyerang Muslim karena berkepentingan menghancurkan misi Islam. Di sinilah strategi Rasul dalam berperang teruji kecerdikannya, yakni parit sendiri (jublangan) menjadi kekuatan beratus kali lipat dibanding jumlah personil pasukan perang. Artinya sedikit pasukan dalam parit lebih mudah mengalahkan puluhan kali lipat jumlah pasukan di luar parit. Sebab pasukan di luar parit terkuras energinya ketika proses menyeberangi genangan air dalam parit.

Sebelum Cak Nun melontarkan pertanyaan di atas, perang khondak hanya dipahami sebagai sejarah perjalanan Islam. Pemahaman segera mendalam atau melebar ketika Cak Nun melontarkan salah satu jawaban dari pertanyaan di atas, yaitu sesungguhnya Rasululloh mempersembahkan perang khondak untuk umat Muslim Indonesia. Dari lontaran jawaban Cak Nun tersebut semakin jelas arah keterkaitan misalnya: antara Arab-Indonesia, Arab-Eropa hingga Indonesia-Eropa yang menyangkut kepentingan global, baik segi komoditas sosio-kultur hingga sumber daya perekonomian.

Cak Nun berpendapat lebih lanjut, bahwa dalam kajian Islam jangka panjang, tidak mungkin Rasul mengajarkan perang khondak bagi negara Arab Saudi, Mesir, Irak dan Iran sekali pun dalam rangka menghalau kekuatan lawan ketika mengeksploitasi sumberdaya minyak Timur-Islam yang tersebar di perairan Afrika, Laut Kaspia hingga melintasi Irak dan kawasan Teluk (baca: Dr.Muhammad Imarah, Sajadah Pres, 2005:176), hingga penghancuran Islam oleh program Kapitalis. Sebab kondisi yang terjadi di negara-negara Arab sekarang ini sudah jebol, bocor oleh target kekuasaan Amerika dan Eropa. Apalagi pasca krisis finansial Eropa, Timur Tengah nyaris menjadi incaran Barat untuk menambal sulam, menutup lobang mekanisme berbagai kebutuhan masyarakat Eropa. Indikasi kejebolan negara negara Arab dapat dibaca dari revolusi Mesir sendiri sangat sukses diobok-obok Amerika. Begitu juga Arab Saudi tidak menyadari bahwa kapitalis sukses menyerap aset dengan menyusupkan kerja sama bilateral, terbukti dengan simbol Euro yang berkeliaran di pelosok wilayah dan hotel Hilton yang berdiri tepat di depan Ka’bah. Apalagi Iran, sebagai satu satunya negara Islam terkuat dan pasti diincar beramai-ramai oleh Uni Eropa dengan berbagai merode kelicikannya.

Kebocoran Pan Arbis hingga ke wilayah budaya Islam-Arab. Amerika mendukung aliran tertentu yang bergaris keras untuk mendominasi wilayah Ka’bah. Belakangan dirasakan para jamaah haji yang mendapat teguran pelarangan kaum Wahabi dengan dalih meluruskan syariat. Para jamaah haji yang hadir dari negara jauh misalnya, karena saking melepas rindu dan cintanya pada Rasululloh, tercermin dengan menangis terisyak begitu menyaksikan makam Rasululloh. Namun tentara yang beraliran Wahabi segera melarang jamaah haji yang menangis dengan alasan “qod mata Muhammad=sungguh Muhammad telah mati, “ artinya tidak penting untuk ditangisi. Dukungan Amerika terhadap kelompok Wahabi tersebut sama halnya mendukung terselenggaranya ‘krisis cinta terhadap Rasul’ sebagai prototipe umat Islam. Dalam jangka panjang, kadar kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad berangsur terkikis secara psikologi. Dan saat itulah umat Islam semakin gamoh, gemol dicekoki berbagai program kapitalis Barat.

Tidak hanya Wahabi yang berpotensi mengikis militansi Muslim terhadap panutan umatnya, melainkan kebanyakan golongan Muslim tanpa sadar juga mempraktekkan ajaran Islam secara kapitalis. Bahkan batasan ‘Islam yang benar pun’telah diformat berdasarkan penafsiran golongan. Cak Nun menyontohkan mekanisme keberangkatan haji yang serba diploroti hitungan uang. Bahkan, di Indonesia gelar haji bagi yang sudah melaksanakan nyaris menjadi kebanggaan. Padahal yang disebut melaksanakan ibadah haji itu orientasi kerja yang terbatas waktunya selama menjalankan ibadah haji. Gelar haji yang dibanggakan sesungguhnya menyakiti Alloh. Sebab, peningkatan jumlah jamaah haji hingga setelah menunaikan tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan kebersamaan (Indonesiaisasi Islami). Dalam arti, jumlah ibadah haji tidak berbanding lurus dengan perubahan moral bangsa, Indonesia tetap saja terpuruk dengan kerusuhan di mana-mana. Jutaan jamaah haji yang berkumpul di Ka’bah hanyalah orang yang berebut ego-pribadi dalam rangka mencium Hajar Aswad. Tidak ada upaya untuk saling mengenal satu sama lain, bahkan merancang kebersamaan sebagai warga Muslim dunia. Contoh lain yang setara ibadah haji adalah program ziarah wali. Baik kebenaran mekanisme haji atau ziarah wali sesungguhnya program sukses bisnis biro travel.

Nasionalisasi yang berkarakter Indonesiaisasi dilontarkan Cak Nun untuk mengidentifikasi maraknya budaya baru bagi warga Indonesia. Nasionalisasi yang bagaimana? Sebab seluruh program dengan mudah dicanangkan nasionalisasi, semacam mesin proyek, padahal sesungguhnya tangan panjang korporasi Barat. Nasionalisasi yang dijabarkan Cak Nun dalam tulisan yang dimuat harian Kompas pada 22 September, 2012, sebenarnya guliran kerikil kecil untuk menjajaki seberapa dalam sumur cara berfikir masyarakat Indonesia, seberapa tanggap masyarakat Indonesia memproteks kebocoran program Barat pasca tambal-sulam krisis Eropa dan seberapa tanggap terhadap siasat perang (dingin). Sebab Indonesia sebagai negara konsumen produk Barat, tentu menjadi sasaran empuk segala kebocoran berbagai program.

Nasionalisasi-Indonesiaisasi merupakan agenda nasional berdasarkan perhitungan detail terhadap karakter Indonesia, baik segi sosial-budaya maupun teritorial-sumberdaya alam. Langkah inilah yang disebut perang khondak bagi Indonesia, sebuah upaya tidak anti perundingan damai dengan modernisme, tetapi mampu mengendalikan aset bangsa, dan bukan membudak pada Barat, yaitu mengabdikan diri dengan menggenapi krisis energi Eropa yang kian tekor. Dengan Indonesiaisasi diharapkan kesadaran masyarakat tergugah, bahwa sejak lama kapitalisme Barat menyusupkan doktrin programnya melalui berbagai sistem pengajaran dan produk tekhnologi. Kebocoran sistem pengajaran di Indonesia serta merta meng-ajar-kan aliran apapun dari Barat, dan bukan ‘’mendidik’’ apapun yang menyertakan muatan moral. Kebocoran tekhnologi menyerap keuangan Indonesia sedemikian hebat, mulai dari pembelian barang jadi berlanjut ke sistem aplikasi. Hand Phone, Facebook, Twitter, BBM (Bluckberry Mesenger), terbukti menyerap pulsa setiap detik. Sedang di sisi lain, provider alat tekhnologi tersebut ujung-ujungnya saham Barat. Sisi inilah Cak Nun menyarankan agar tidak terlalu boros mengobral uang untuk memperkaya saham Barat. Maka diperlukan sistem kontrol bagi pengguna tekhnologi agar lebih tepat dan efektif. Pemilik tekhnologi tidak lantas kemajaren, mumpung punya, sok banyak duit kemudian mengobral pulsa hanya untuk begejekan. Sistem kontrol dan efektifitas yang dimaksud yaitu mengutamakan informasi apa yang penting disegerakan. Pemakai facebook dan BB berlaku tepat, mana yang harus dijempoli, dikomentari bahkan dibagikan atau diposting. Artinya, kalau pun tidak mampu mengelak dari serangan kebutuhan kapitalis, warga Indonesia harus memasang siasat berbalik menyerang dengan cara menyebarkan virus nasionalisasi yang Indonesiaisasi, bukan hal-hal yang musproh (mubadzir).

Kebocoran media massa baik cetak mau pun elektronik nyaris menembus jantung seluruh lapisan masyarakat Indonesia, bahkan umat Islam. Akibatnya, tanpa sadar kebudayaan Indonesia cerca dan porak-poranda diterjang peluru kapitalis yang berada di luar parit. Pengamatan media tersebut terbukti bahwa selama ini warga Indonesia tidak memiliki siasat perang sedikit pun. Mempelajari 33 Strategi Perang yang ditulis oleh Robert Greene (terjemahan Drs. Arwin Saputra, Karisma Publising, 2007), setidaknya menyadarkan Indonesia bahwa penting mengetahui gerak lawan dalam perang dingin memperebutkan sumber energi. Bagaimana pun, jumlah energi yang tersedia di muka bumi diperebutkan tiap negara untuk kelangsungan hidup semua. Dan pengerukan sumber daya alam Indonesia sudah diserap untuk memenuhi kebutuhan Barat sejak awal imperialis menjejakkan kaki di nusantara. Greene mengurai strategi perang di antaranya: Pertama: Perang Strategis, yakni perang yang berorientasi bahwa kehidupan adalah pertempuran dan konflik sepanjang masa. Untuk bisa bertempur secara efektif harus mengenali musuh-musuh dengan mengidentifikasi ciri, pola, bahan serang, medan pertempuran. Lalu mengawali niat dalam hati untuk mengatakan, ‘ia harus dilawan’. Kedua; Strategi Gerilya Pikiran, yakni perang berpijak dari pengalaman yang membuat suatu wilayah jatuh terpuruk adalah masa lalu. Selanjutnya harus sadar memerangi masa lalu untuk memaksa diri sendiri, tidak mengenal ampun diri sendiri, bereaksi terhadap peristiwa sekarang. Tidak mengulang yang pernah dicoba, termasuk dalam pemikiran yang tidak membiarkan garis pertahanan mana pun statis. Sambil melakukan perlawanan secara stabil dan fleksibel. Ketiga; Strategi Besar, yakni boleh kalah dalam pertempuran asal menang dalam perang. Perang ini memuat seni memandang jauh melampaui pertempuran dan membuat perhitungan lebih dulus. Kempat; Menukar Tempat demi Waktu, yakni mundur ketika menghadapi musuh yang kuat bukan berarti lemah. perang demikian bisa dilakukan dengan mengulu-ulur waktu supaya kondisi pemikiran pulih untuk menemukan perspektif. Cara demikian dapat menguntungkan hal besar tanpa melakukan apa apa. Kelima; Strategi Luar Biasa, yakni mengambil tindakan yang paling tak terduga. Sebab sebelumnya orang mengharap perilaku sesuai dengan konvensi dan pola yang sudah dikenal. Kemudian anggapan tersebut dihancurkan, dikacaukan menjadi harapan hampa dan tidak menentu. Dll.

Kekalahan Indonesia dalam perang dingin melawan kapitalis sangat telak, bahkan secara tidak sadar Indonesia merasa diancam oleh dirinya sendiri yang belum tentu kapasitasnya lebih besar dari dirinya. Jika mau menguatkan sistem Indonesia ke depan hendaknya dipahami, bahwa kekalahan-kekalahan kecil berbagai program luar negeri sesungguhnya sikap kekanakan Barat yang ibarat anak kecil ketika disodori kertas cek dan kertas layangan, pasti memilih kertas layangan, sebab sesuai dengan kapasitasnya sebagai bangsa pengemis dan pemain. Sedang Indonesia sendiri masih memiliki milyatan benda berharga yang masih terpendam dan akan mengejutkan dunia. Tinggal bagaimana memasang parit agar menghadang pencuri datang.

No comments:

Post a Comment